Filsafat akan memberikan kepuasan kepada keinginan manusia akan
pengetahuan yang tersusun dengan tertib, tentang kebenaran. Fungsi filsafat
adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah dan
menuntun pada jalan baru serta membangun keyakinan atas dasar kematangan
intelektual. Filsafat tidak hanya cukup diketahui, tetapi dapat dipraktekkan
dalam hidup sehari-sehari. Filsafat akan memberikan dasar-dasar pengetahuan
yang dibutuhkan untuk hidup secara baik, bagaimana hidup secara baik dan
bahagia. Dengan kata lain, tujuan filsafat adalah mencari hakikat kebenaran
sesuatu, baik dalam logika (kebenaran berpikir), etika (berperilaku), maupun
metafisik (hakikat keaslian).
Pendekatan filosofis untuk menjelaskan suatu masalah dapat diterapkan
dalam aspek-aspek kehidupan manusia, termasuk dalarn pendidikan. Filsafat tidak
hanya melahirkan pengetahuan baru, melainkan juga melahirkan filsafat
pendidikan. Filsafat pendidikan adalah filsafat terapan untuk memecahkan
masalah-masalah pendidikan yang dihadapi. John Dewey (1964) berpendapat bahwa
filsafat merupakan teori umum tentang pendidikan. Filsafat sebagai suatu sistem
berpikir akan menjawab persoalan-persoalan pendidikan yang bersifat filosofis
dan memerlukan jawaban filosofis pula. Setiap praktik pendidikan atau
pembelajaran tidak terlepas dari sejumlah masalah dalam mencapai tujuannya.
Upaya pemecahan masalah tersebut akan memerlukan landasan
teoritis-filosofis mengenai apa hakikat pendidikan dan bagaimana proses
pendidikan dilaksanakan. Henderson
dalam Sadulloh (2004) mengemukakan bahwa filsafat pendidikan adalah filsafat
yang diaplikasikan untuk menelaah dan memecahkan masalah-masalah pendidikan.
Peranan filsafat yang mendasari berbagai aspek pendidikan merupakan suatu
sumbangan yang berharga dalam pengembangan pendidikan, baik pada tataran
teoritis maupun praktis. Filsafat sebagai suatu sistem berpikir dengan
cabang-cabangnya (metafisika, epistemologi, dan aksiologi) dapat mendasari
pemikiran tentang pendidikan. Menurut Brubacher (1959), terdapat tiga prinsip
filsafat yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu: (1) persoalan etika atau
teori nilai; (2) persoalan epistemologi atau teori pengetahuan; dan (3)
persoalan metafisika atau teoni hakikat realitas. Untuk menentukan tujuan
pendidikan, memotivasi belajar, mengukur hasil pendidikan akan berhubungan
dengan tata nilai. Persoalan kurikulum akan berkaitan dengan epistemologi.
Pembahasan tentang hakikat realitas, pandangan tentang hakikat dunia dan
hakikat manusia khususnya, diperlukan untuk menentukan tujuan akhir pendidikan.
Metafisika memberikan sumbangan pemikiran dalam membahas hakikat manusia pada
umumnya, khususnya yang berkaitan dengan hakikat anak (peserta didik).
Dalam sejarah perkembangan filsafat telah lahir sejumlah aliran filsafat.
Dengan adanya aliran-aliran filsafat, maka konsepsi mengenai filsafat
pendidikan telah dipengaruhi oleh aliran-aliran tersebut. Dengan memperhatikan
obyek filsafat dan masalah pokok pendidikan, selanjutnya dalam tulisan ini akan
dibahas beberapa aliran filsafat yang melandasi pengembangan teori
pendidikan.
A. Aliran Filsafat Rasionalisme
Rasionalisme atau gerakan rasionalis merupakan doktrin filsafat yang
menyatakan bahwa kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan
analisis yang berdasarkan fakta, dari pada melalui iman, dogma, atau ajaran
agama.
Rasionalisme mempunyai kemiripan dari segi ideologi dan tujuan dengan humanisme dan
atheisme,
dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus
sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan atau takhayul. Meskipun
begitu, ada perbedaan dengan kedua bentuk tersebut. Perbedaan antara humanisme
dan atheisme adalah sebagai berikut.
- Humanisme dipusatkan pada masyarakat manusia dan keberhasilannya. Rasionalisme tidak mengklaim bahwa manusia lebih penting daripada hewan atau elemen alamiah lainnya. Ada rasionalis-rasionalis yang dengan tegas menentang filosofi humanisme yang antroposentrik.
- Atheisme adalah suatu keadaan tanpa kepercayaan akan adanya Tuhan atau dewa-dewa; rasionalisme tidak menyatakan pernyataan apapun mengenai adanya dewa-dewi meski ia menolak kepercayaan apapun yang hanya berdasarkan iman. Meski ada pengaruh atheisme yang kuat dalam rasionalisme modern, tidak seluruh rasionalis adalah atheis.
Di luar diskusi keagamaan, rasionalisme dapat diterapkan secara lebih
umum, misalnya kepada masalah-masalah politik atau
sosial. Dalam kasus-kasus seperti ini, yang menjadi ciri-ciri penting dari
perpektif para rasionalis adalah penolakan terhadap perasaan
(emosi), adat-istiadat atau
kepercayaan yang sedang populer. Pada pertengahan abad ke-20,
ada tradisi kuat rasionalisme yang terencana, yang dipengaruhi oleh para
pemikir bebas dan kaum intelektual.
Rasionalisme modern hanya mempunyai sedikit kesamaan dengan rasionalisme
kontinental yang diterangkan René
Descartes. Perbedaan paling jelas terlihat pada ketergantungan rasionalisme
modern terhadap sains
yang mengandalkan percobaan dan pengamatan, suatu hal yang ditentang
rasionalisme kontinental sama sekali. Dalam sejarah pemikiran falsafati,
datangnya abad 17 ditengarai sebagai datangnya abad “kelahiran kembali
nalar (ratio, reason) manusia’, yang dalam istilah asingnya the age
of renaissance. Dikatakan demikian karena pada dan sejak masa itulah muncul
dan berdominasinya kembali paham falsafati yang disebut ‘rasionalisme’.
Rasionalisme – yang tak bisa dilepaskan dari asosiasinya dengan paradigma
Galillean -- adalah suatu paham yang menyatakan dengan penuh keyakinan bahwa
alam gagasan dan kemampuan manusia mengembangkan potensi pikirannya -- dan
bukan tradisi dan kepercayaan yang diikuti secara membuta – itulah yang harus
dipercaya sebagai sumber pengetahuan manusia tentang dunia berikut
isinya.
Walaupun paham ini sebenarnya sudah pernah juga diutarakan oleh beberapa
ahli filsafat pada jaman Yunani kuno, seperti Pythagoras misalnya, namun
rasionalisme yang lebih mutakhir umumnya diasosiasikan dengan nama-nama ahli
pikir yang hidup pada abad 17. Mereka ini antara lain René Descartes
(1596-1650) dari Perancis, Baruch Spinoza (1632-1677) dari Belanda, dan
Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) dari Jerman. Ketiganya sama-sama
berparadigma bahwa pengetahuan yang sejati tentang alam semesta ini hanya dapat
diperoleh mula-mula lewat penalaran yang dituntun oleh logika. Dengan paham
rasionalismenya itu, ketiganya sama-sama pula bereaksi terhadap tradisi
pemikiran para penguasa yang selalu mendasarkan kebenaran pengetahuan pada
otoritas para pemuka berikut tradisi-tradisi ajaran gereja yang selama
mereka anut. Karena itu, paham rasionalisme acapkali dilawankan
dengan paham empirisme.
Rasionalisme secara
kritis mempermasalahkan dasar-dasar pikiran yang bersifat mitos. Menurut
Popper, tahapan ini adalah penting dalam sejarah berpikir manusia yang
menyebabkan ditinggalkannya tradisi yang bersifat dogmatik yang hanya
memperkenankan hidupnya satu doktrin dan digantikan dengan doktrin yang
bersifat majemuk yang masing-masing mencoba menemukan kebenaran secara analisis
yang bersifatkritis. Dengan demikian berkembanglah metode eksperimen yang merupakan
jembatan antara penjelasan teoritis yang hidup di alam rasional dengan
pembuktian yang dilakukan secara empiris.
B. Aliran Filsafat Empirisme
Filsafat empirisme merupakan suatu paham yang mengedepankan keyakinan
bahwa semua gagasan dan pengetahuan itu hanyalah boleh dikatakan benar apabila
gagasan dan pengetahuan itu diawali dari pengalaman indrawi. Akan tetapi,
seperti dinyatakan oleh Spinoza dan Leibniz, pada asasnya semua pengetahuan itu
hanya bisa diperoleh melalui pendayagunaan nalar, bersaranakan prosedur
logika yang deduktif, walaupun diakui oleh kedua pemikir ini bahwa dalam praktiknya–
kecuali dalam matematika – upaya memperoleh pengetahuan dengan sepenuhnya
menggunakan daya nalar akan sulit dilakukan. Jadi, empirisisme adalah pencarian
kebenaran melalui pembuktian-pembukitan indrawi. Kebenaran belum dapat
dikatakan kebenaran apabila tidak bisa dibuktikan secara indrawi, yaitu
dilihat, didengar dan dirasa.
Francis Bacon (1561-1624) seorang filsuf Empirisme pada awal abad Pencerahan
menulis dalam salah satu karyanya Novum Organum: Segala kebenaran hanya
diperoleh secara induktif, yaitu melalui pengalamn dan pikiran yang didasarkan
atas empiris, dan melalui kesimpulan dari hal yang khusus kepada hal yang umum.
Empirisisme muncul sebagai akibat ketidakpuasan terhadap superioritas akal.
Paham ini bertolak belakang dengan Rasionalisme yang mengutamakan akal. Filsafat
empirisme menyatakan bahwa semua pengetahuan
berasal dari pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia
telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan.
Tokoh-tokohnya adalah John Locke (1632-1704); George Berkeley (1685-1753);
David Hume (1711-1776). Kebenaran dalam Empirisme harus dibuktikan dengan
pengalaman. Peranan pengalaman menjadi tumpuan untuk memverifikasi sesuatu yang
dianggap benar. Kebenaran jenis ini juga telah mempengaruhi manusia sampai
sekarang ini, khususnya dalam bidang Hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM).
Aliran rasionalisme dan empirisme dibedakan lewat caranya untuk mencari
kebenaran. Rasionalisme didominasi akal, sementara empirisme didominasi oleh
pengalaman dalam pencarian kebenaran. Kedua aliran tersebut secara ekstrim
bahkan tidak mengakui realitas di luar akal, pengalaman atau fakta.
Superioritas akal menyebabkan agama dilempar dari posisi yang seharusnya. Agama
didasarkan pada doktrin-dokrtin yang tidak bisa diterima oleh rasio sehingga
tidak diterima oleh para pemegang paham rasionalisme dan empirisisme. Tentu
saja hal ini bukan berarti dogma yang diajarkan agama itu tidak benar, tapi
rasio manusia masih terbatas untuk menguji kebenaran dogma Tuhan. Sehubungan dengan
hal itu, munculah aliran kritisisme sebagai jawaban dari rasionalisme dan
empirisme untuk menyelamatkan agama.
Pembedaan yang saling berseberangan antara rasionalisme dan empirisme
acapkali tak menghasilkan gambaran yang tajam. Orang masih saja bisa memperdebatkan
apakah yang ada dalam gagasan manusia itu sebenarnya refleksi alam empirik
sebagaimana yang terpersepsi melalui pancaindra, ataukah sebaliknya; bahwa yang
tersimak itu sebenarnya tak lain dari pada refleksi apa yang tengah ada di
dalam gagasan. Berkenaan dengan soal ini, Descartes pernah menyatakan
bahwa pengetahuan yang sebenar-benarnya benar (seperti matematika) hanya dapat
diperoleh melalui jalan penalaran saja, walaupun keberhasilan mendapatkan
pengetahuan yang lain (seperti misalnya fisika) memerlukan pengalaman empirik.
Dengan demikian, berbeda dengan matematika, fisika tak mungkin diperoleh
melalui jalan logika semata melainkan memerlukan metode sains, yakni metode
yang mensintesiskan hasil penalaran (yang diperoleh lewat penyimpulan deduktif)
dengan hasil observasi empirik (yang diperoleh lewat penyimpulan induktif).
C. Aliran Filsafat Kritisisme
Kritisisme merupakan filsafat yang terlebih dahulu menyelidiki kemampuan
dan batas-batas rasio sebelum melakukan pencarian kebenaran. Tokoh yang
terkenal dari aliran ini adalah Immanuel Kant (1724-1804). Filsafatnya dikenal
dengan Idealisme Transedental atau Filsafat Kritisisme. Menurutnya, pengetahuan
manusia merupakan sintesa antara apa yang secara apriori sudah ada dalam
kesadaran dan pikiran dengan impresi yang diperoleh dari pengalaman
(aposteriori).
D. Aliran Filsafat Positivisme
Filsafat positivisme membatasi kajian filsafat ke hal-hal yang dapat
dijustifikasi (diuji) secara empirik. Hal-hal tersebut dinamakan hal-hal
positif. Positivisme digunakan untuk merumuskan
pengertian mengenai realita sosial dengan penjelasan ilmiah, prediksi dan
kontrol seperti yang dipraktekkan pada fisika, kimia, dan biologi. Tahap
penelitian positivisme dimulai dengan pengamatan, percobaan, generalisasi,
produksi, manipulasi.
Istilah Positivisme pertama kali digunakan oleh Francis
Bacon seorang filosof berkebangsaan Inggris. Ia berkeyakinan bahwa tanpa adanya
pra asumsi, komprehensi-komprehensi pikiran dan apriori akal tidak boleh
menarik kesimpulan dengan logika murni maka dari itu harus melakukan observasi
atas hukum alam. Istilah ini kemudian juga digunakan oleh Agust Comte
dan dipatok secara mutlak sebagai tahapan paling akhir sesudah tahapan-tahapan
agama dan filsafat.
Tesis positivisme adalah : bahwa ilmu adalah
satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat
menjadi objek pengetahuan. Dengan demikian positivisme menolak keberadaan
segala kekuatan atau subjek diluar fakta, menolak segala penggunaan metoda di
luar yang digunakan untuk menelaah fakta. Atas kesuksesan teknologi industri
abad XVIII, positivisme mengembangkan pemikiran tentang ilmu pengetahuan
universal bagi kehidupan manusia, sehingga berkembang etika, politik, dan
lain-lain sebagai disiplin ilmu, yang tentu saja positivistik. Positivisme
mengakui eksistensi dan menolak esensi. Ia menolak setiap definisi yang tidak
bisa digapai oleh pengetahuan manusia. Bahkan ia juga menolak nilai (value).
Dasar dari pandangan positivistik dari ilmu sosial budaya tersebut yakni adanya
anggapan bahwa (a) gejala sosial budaya merupakan bagian dari gejala alami, (b)
ilmu sosial budaya juga harus dapat merumuskan hukum-hukum atau
generalisasi-generalisasi yang mirip dalil hukum alam, (c) berbagai prosedur
serta metode penelitian dan analisis yang ada dan telah berkembang dalam
ilmu-ilmu alam dapat dan perlu diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial budaya.
Akibatnya, ilmu sosial budaya menjadi bersifat predictive dan explanatory
sebagaimana halnya dengan ilmu alam dan ilmu pasti. Generalisasi-generalisasi
tersebut merangkum keseluruhan fakta yang ada namun sering kali menegasikan
adanya “contra-mainstream”. Manusia, masyarakat, dan kebudayaan dijelaskan
secara matematis dan fisis.
E. Idealisme
Filsafat Idealisme memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan
materi, bukan fisik. Pengetahuan yang diperoleh melaui panca indera adalah
tidak pasti dan tidak lengkap. Aliran ini memandang nilai adalah tetap dan
tidak berubah, seperti apa yang dikatakan baik, benar, cantik, buruk secara
fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi. Pandangan Idealisme Plato,
realitas yang fundamental adalah ide atau idea. Realitas yg tampak oleh indera
manusia adalah bayangan dari ide. Artinya, dibelakang alam empiris atau alam
fenomena yg kita hayati terdapat alam ideal atau alam esensi. Bagi kelompok
idealisme, manusia merupakan bagian dari proses alam, yang juga
bersifat spiritual karena memiliki akal, jiwa, budi dan nurani.
Tokoh-tokoh dalam aliran ini adalah: Plato, Elea dan Hegel, Emanuael
Kant, David Hume, Al Ghazali.
F. Realisme
Filsafat Realisme merupakan filsafat yang memandang realitas secara
dualitas. Realisme berpendapat bahwa hakekat realitas ialah terdiri atas dunia
fisik dan dunia ruhani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu
subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak dan di pihak lainnya adalah
adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan objek pengetahuan manusia.
Menurut pandangan realitas, manusia selalu berintraksi dengan lingkungan
tempat mereka berada. Lingkungan baru memiliki arti jika manusia peduli dan
memahami kegunaan dari lingkungan itu sendiri untuk kejayaan hidupnya. Selama
manusia tidak melakukan sesuatu terhadap lingkungan, selama itu pula lingkungan
tidak pernah memberi sesuatu yang bermanfaat bagi manusia.
G. Pragmatisme
Inti dari filsafat pendidikan yang berwatak pragmatis; pengetahuan yang
benar adalah pengetahuan yang berguna, dan hasil dari pendidikan adalah
berfungsi bagi kehidupannya. Karena itu, pendidikan harus didesain secara
fleksibel dan terbuka. Maksudnya pendidikan tidak boleh mengurung kebebasan
berkreasi anak, lebih-lebih membunuh kreatifitas
anak. Menurut pragmatisme, pendidikan bukan semata-mata membentuk pribadi anak
tanpa memperhatikan potensi yang ada dalam diri anak, juga bukan beranggapan
bahwa anak telah memiliki kekuatan laten yang memungkinkan untuk
berkembang dengan sendirinya sesuai tujuan. (Sadulloh, 2004).
Tujuan pendidikan pragmatisme inheren dengan pandangan realitas, teori
pengetahuan dan kebenaran, serta teori nilai. Menurut pandangan realitas,
manusia selalu berintraksi dengan lingkungan tempat mereka berada. Lingkungan
baru memiliki arti jika manusia peduli dan memahami kegunaan dari lingkungan
itu sendiri untuk kejayaan hidupnya. Selama manusia tidak melakukan sesuatu
terhadap lingkungan, selama itu pula lingkungan tidak pernah memberi sesuatu
yang bermanfaat bagi manusia.
Kebenaran tidak pernah mutlak, tidak berlaku umum, tidak tetap, tidak
berdiri sendiri serta tidak terlepas dari akal yang mengenal, yang ada hanyalah
kebenaran yang bersifat khusus dan setiap saat dapat diubah oleh pengalaman
(Sadulloh, 2004). Ini berarti bahwa bahwa, ukuran kebenaran sangat nisbi
bergantung dari masing-masing yang memandang. Baik menurut seseorang, mungkin
akan sebaliknya menurut orang lain, demikian seterusnya, sehingga patokan
kebenaran tidaklah dapat berlaku untuk semua orang dan keadaan. Demikian pula
nilai, menurut pragmatisme bersifat relatif, karena kaidah-kaidah moral dan
etika tidak pernah tetap, tetapi terus berubah seperti berubahnya kebudayaan
seiring dengan berubahnya masyarakat yang membentuk kebudayaan itu. Karena itu,
tujuan pendidikan pun harus disesuaikan dengan keadaan masyarakat dimana anak
itu berada. Sehubungan dengan itu, menurut pandangan pragmatisme tidak ada
tujuan pendidikan yang berlaku secara umum, dan tidak ada pula tujuan
pendidikan yang bersifat tetap dan pasti. Yang ada hanyalah tujuan khusus, dan
bersifat nisbi serta tidak pasti. Karena itu, mustahil tujuan pendidikan dapat
ditetapkan untuk semua masyarakat. Tujuan pendidikan menurut pragmatisme selalu
bersifat temporer, dan tujuan merupakan alat untuk bertindak. Jika suatu tujuan
telah dicapai, maka hasil tujuan akan menjadi alat untuk mencapai tujuan
berikutnya, demikian seterusnya, karena pragmatisme tidak mengenal tujuan
akhir, dan yang ada adalah tujuan antara.
H. Humanisme
Di zaman Renaisans gagasan Yunani Romawi tentang kemanusiaan universal
dibangkitkan kembali dan berkembang bersama dengan modernitas kita sehingga
kita sekarang dimampukan untuk mengatasi etnosentrisme dengan suatu ide
abstrak, yakni humanitas. Humanisme tidak hanya mendasari ide dan
praksis hak-hak asasi manusia, civil
society, dan negara hukum demokratis, melainkan juga mendorong aksi-aksi
solidaritas global yang melampaui negara, ras, agama, kelas sosial, dan
seterusnya.
Humanisme berpandangan bahwa pendidikan harus ditekankan pada kebutuhan
anak (child centered). Tujuannya untuk aktualisasi diri, perkembangan efektif,
dan pembentukan moral. Humanisme
dapat dipandang sebagai suatu upaya intelektual yang gigih untuk memaknai
kemanusiaan dan keterlibatan manusia di dalam dunianya.
I.
Behaviourisme
Paham behaviourisme memandang perubahan perilaku setelah seseorang
memperoleh stimulus dari luar merupakan hal yang sangat penting. Oleh sebab
itu, pendidikan behaviorisme menekankan pada proses mengubah atau memodifikasi
perilaku. Tujuannya untuk menyiapkan pribadi-pribadi yang sesuai dengan
kemampuannya, mempunyai rasa tanggung jawab dalam kehidupan pribadi dan
masyarakat.
Menurut Osbrorn & Wittrock (dalam Sutrisno, 1992), paham
behaviourisme menekankan bahwa peningkatan sejumlah tingkah laku (kemampuan dan
keterampilan) yang kompleks, dari tingkah laku yang sederhana ke tingkah laku
yang dilaksanakan untuk memecahkan suatu masalah, dapat dilaksanakan melalui
suatu proses peembelajaran yang disusun secara hirarkis.
Definisi belajar menurut paham ini yang paling populer adalah perubahan
tingkah laku yang relatif permanen sebagai akibat diberikannya suatu
“reinforcement”. Model pembelajaran behaviouris, sangat bersifat deduktif, dan
hasil belajar yang lebih dipentingkan berupa “output”.
J.
Konstruktivisme
Filsafat konstruktivisme merupakan filsafat ilmu pengetahuan yang
bertanya tentang apa pengetahuan itu, bagaimana pengetahuan itu diperoleh
manusia, dan mengapa pengetahuan itu perlu.
Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan adalah konstruksi (bentukan)
dari seseorang yang mengetahui. Belajar menurut paham konstruktivisme merupakan
proses aktif seseorang untuk membangun pengetahuannya sendiri melalui interaksi
dengan yang lain (lingkungan) dengan cara membuat hubungan antara kosepsi yang
telah dimiliki dengan pengetahuan yang sedang dipelajari (Katu, 1992; Sutrisno,
1993).
Munurut Suparno (1997), belajar merupakan proses organik untuk menemukan
sesuatu, bukan suatu proses mekanik untuk mengumpulkan fakta. Ini berarti
bahwa, menurut paham konstruktivisme, pengetahuan diperoleh melalui proses
aktif individu mengkonstruksi arti dari suatu teks, pengalaman fisik, dialog,
dan lain-lain melalui asimilasi pengalaman baru dengan pengertian yang telah
dimiliki seseorang. Tujuan pendidikannya menghasilkan individu yang memiliki
kemampuan berpikir untuk menyelesaikan persoalan hidupnya. Bagaimana seseorang
mengkonstruksi pengetahuannya sangat mempengaruhi kualitas pengetahuan yang dia
miliki. Karena itu, orang yang belajar untuk mengatahui sesuatu itu,
harus aktif, tidak menerima secara pasif (karena pengetahuan tidak dapat
ditransfer dari mereka yang mengetahui ke mereka yang sedang belajar). Evaluasi
yang ditekankan dalam paham konstruktivisme adalah proses (partisipasi), yakni
berupa performance.
Ernest (1991) membagi aliran
konstruktivisme dalam konstruktivisme radikal, dan konstruktivisme
sosial. Paham konstruktivisme radikal memandang bahwa pemerolehan pengetahuan
harus melalui tindakan dan interaksi aktif dari seseorang/pebelajar terhadap
lingkungan. Paham konstruktivisme sosial memandang pengetahuan sebagai
konstruksi sosial. Ernest (1991) menyatakan bahwa konstruktivisme sosial
mengaitkan antara pengetahuan subyektif dan pengetahuan obyektif dalam suatu
siklus melingkar. Maksudnya, pengetahuan baru terbentuk melalui suatu
siklus melingkar yaitu dimulai dari pengetahuan subyektif ke pengetahuan
obyektif melalui suatu publikasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar