Minggu, 06 Januari 2013

Beberapa Aliran Filsafat dalam Pendidikan

Filsafat akan  memberikan kepuasan kepada keinginan manusia akan pengetahuan yang tersusun dengan tertib, tentang kebenaran. Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah dan menuntun pada jalan baru serta membangun keyakinan atas dasar kematangan intelektual. Filsafat tidak hanya cukup diketahui, tetapi dapat dipraktekkan dalam hidup sehari-sehari. Filsafat akan memberikan dasar-dasar pengetahuan yang dibutuhkan untuk hidup secara baik, bagaimana hidup secara baik dan bahagia. Dengan kata lain, tujuan filsafat adalah mencari hakikat kebenaran sesuatu, baik dalam logika (kebenaran berpikir), etika (berperilaku), maupun metafisik (hakikat keaslian).
Pendekatan filosofis untuk menjelaskan suatu masalah dapat diterapkan dalam aspek-aspek kehidupan manusia, termasuk dalarn pendidikan. Filsafat tidak hanya melahirkan pengetahuan baru, melainkan juga melahirkan filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan adalah filsafat terapan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang dihadapi. John Dewey (1964) berpendapat bahwa filsafat merupakan teori umum tentang pendidikan. Filsafat sebagai suatu sistem berpikir akan menjawab persoalan-persoalan pendidikan yang bersifat filosofis dan memerlukan jawaban filosofis pula. Setiap praktik pendidikan atau pembelajaran tidak terlepas dari sejumlah masalah dalam mencapai tujuannya.
Upaya pemecahan masalah tersebut akan memerlukan landasan teoritis-filosofis mengenai apa hakikat pendidikan dan bagaimana proses pendidikan dilaksanakan. Henderson dalam Sadulloh (2004) mengemukakan bahwa filsafat pendidikan adalah filsafat yang diaplikasikan untuk menelaah dan memecahkan masalah-masalah pendidikan. Peranan filsafat yang mendasari berbagai aspek pendidikan merupakan suatu sumbangan yang berharga dalam pengembangan pendidikan, baik pada tataran teoritis maupun praktis. Filsafat sebagai suatu sistem berpikir dengan cabang-cabangnya (metafisika, epistemologi, dan aksiologi) dapat mendasari pemikiran tentang pendidikan. Menurut Brubacher (1959), terdapat tiga prinsip filsafat yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu: (1) persoalan etika atau teori nilai; (2) persoalan epistemologi atau teori pengetahuan; dan (3) persoalan metafisika atau teoni hakikat realitas. Untuk menentukan tujuan pendidikan, memotivasi belajar, mengukur hasil pendidikan akan berhubungan dengan tata nilai. Persoalan kurikulum akan berkaitan dengan epistemologi. Pembahasan tentang hakikat realitas, pandangan tentang hakikat dunia dan hakikat manusia khususnya, diperlukan untuk menentukan tujuan akhir pendidikan. Metafisika memberikan sumbangan pemikiran dalam membahas hakikat manusia pada umumnya, khususnya yang berkaitan dengan hakikat anak (peserta didik).
Dalam sejarah perkembangan filsafat telah lahir sejumlah aliran filsafat. Dengan adanya aliran-aliran filsafat, maka konsepsi mengenai filsafat pendidikan telah dipengaruhi oleh aliran-aliran tersebut. Dengan memperhatikan obyek filsafat dan masalah pokok pendidikan, selanjutnya dalam tulisan ini akan dibahas beberapa aliran filsafat yang  melandasi pengembangan teori pendidikan.


A.   Aliran Filsafat Rasionalisme
Rasionalisme atau gerakan rasionalis merupakan doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan fakta, dari pada melalui iman, dogma, atau ajaran agama.             Rasionalisme mempunyai kemiripan dari segi ideologi dan tujuan dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan atau takhayul. Meskipun begitu, ada perbedaan dengan kedua bentuk tersebut. Perbedaan antara humanisme dan atheisme adalah sebagai berikut.
  • Humanisme dipusatkan pada masyarakat manusia dan keberhasilannya. Rasionalisme tidak mengklaim bahwa manusia lebih penting daripada hewan atau elemen alamiah lainnya. Ada rasionalis-rasionalis yang dengan tegas menentang filosofi humanisme yang antroposentrik.
  • Atheisme adalah suatu keadaan tanpa kepercayaan akan adanya Tuhan atau dewa-dewa; rasionalisme tidak menyatakan pernyataan apapun mengenai adanya dewa-dewi meski ia menolak kepercayaan apapun yang hanya berdasarkan iman. Meski ada pengaruh atheisme yang kuat dalam rasionalisme modern, tidak seluruh rasionalis adalah atheis.
Di luar diskusi keagamaan, rasionalisme dapat diterapkan secara lebih umum, misalnya kepada masalah-masalah politik atau sosial. Dalam kasus-kasus seperti ini, yang menjadi ciri-ciri penting dari perpektif para rasionalis adalah penolakan terhadap perasaan (emosi), adat-istiadat atau kepercayaan yang sedang populer. Pada pertengahan abad ke-20, ada tradisi kuat rasionalisme yang terencana, yang dipengaruhi oleh para pemikir bebas dan kaum intelektual.
Rasionalisme modern hanya mempunyai sedikit kesamaan dengan rasionalisme kontinental yang diterangkan René Descartes. Perbedaan paling jelas terlihat pada ketergantungan rasionalisme modern terhadap sains yang mengandalkan percobaan dan pengamatan, suatu hal yang ditentang rasionalisme kontinental sama sekali. Dalam sejarah pemikiran falsafati, datangnya abad 17 ditengarai sebagai datangnya abad  “kelahiran kembali nalar (ratio, reason) manusia’, yang dalam istilah asingnya the age of renaissance. Dikatakan demikian karena pada dan sejak masa itulah muncul dan berdominasinya kembali paham falsafati yang disebut ‘rasionalisme’. Rasionalisme – yang tak bisa dilepaskan dari asosiasinya dengan paradigma Galillean -- adalah suatu paham yang menyatakan dengan penuh keyakinan bahwa alam gagasan dan kemampuan manusia mengembangkan potensi pikirannya -- dan bukan tradisi dan kepercayaan yang diikuti secara membuta – itulah yang harus dipercaya sebagai sumber pengetahuan manusia tentang dunia berikut isinya. 
Walaupun paham ini sebenarnya sudah pernah juga diutarakan oleh beberapa ahli filsafat pada jaman Yunani kuno, seperti Pythagoras misalnya, namun rasionalisme yang lebih mutakhir umumnya diasosiasikan dengan nama-nama ahli pikir yang hidup pada abad 17.  Mereka ini antara lain René Descartes (1596-1650) dari Perancis, Baruch Spinoza (1632-1677) dari Belanda, dan Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) dari Jerman. Ketiganya sama-sama berparadigma bahwa pengetahuan yang sejati tentang alam semesta ini hanya dapat diperoleh mula-mula lewat penalaran yang dituntun oleh logika. Dengan paham rasionalismenya itu, ketiganya sama-sama pula bereaksi terhadap tradisi pemikiran para penguasa yang selalu mendasarkan kebenaran pengetahuan pada otoritas para pemuka berikut tradisi-tradisi ajaran gereja yang selama  mereka anut.  Karena itu, paham rasionalisme acapkali dilawankan dengan paham empirisme.  
Rasionalisme secara kritis mempermasalahkan dasar-dasar pikiran yang bersifat mitos. Menurut Popper, tahapan ini adalah penting dalam sejarah berpikir manusia yang menyebabkan ditinggalkannya tradisi yang bersifat dogmatik yang hanya memperkenankan hidupnya satu doktrin dan digantikan dengan doktrin yang bersifat majemuk yang masing-masing mencoba menemukan kebenaran secara analisis yang bersifatkritis. Dengan demikian berkembanglah metode eksperimen yang merupakan jembatan antara penjelasan teoritis yang hidup di alam rasional dengan pembuktian yang dilakukan secara empiris.
B.   Aliran Filsafat Empirisme
            Filsafat empirisme merupakan  suatu paham yang mengedepankan keyakinan bahwa semua gagasan dan pengetahuan itu hanyalah boleh dikatakan benar apabila gagasan dan pengetahuan itu diawali dari pengalaman indrawi. Akan tetapi, seperti dinyatakan oleh Spinoza dan Leibniz, pada asasnya semua pengetahuan itu hanya bisa diperoleh melalui pendayagunaan nalar, bersaranakan  prosedur logika yang deduktif, walaupun diakui oleh kedua pemikir ini bahwa dalam praktiknya– kecuali dalam matematika – upaya memperoleh pengetahuan dengan sepenuhnya menggunakan daya nalar akan sulit dilakukan. Jadi, empirisisme adalah pencarian kebenaran melalui pembuktian-pembukitan indrawi. Kebenaran belum dapat dikatakan kebenaran apabila tidak bisa dibuktikan secara indrawi, yaitu dilihat, didengar dan dirasa.
            Francis Bacon (1561-1624) seorang filsuf Empirisme pada awal abad Pencerahan menulis dalam salah satu karyanya Novum Organum: Segala kebenaran hanya diperoleh secara induktif, yaitu melalui pengalamn dan pikiran yang didasarkan atas empiris, dan melalui kesimpulan dari hal yang khusus kepada hal yang umum. Empirisisme muncul sebagai akibat ketidakpuasan terhadap superioritas akal. Paham ini bertolak belakang dengan Rasionalisme yang mengutamakan akal. Filsafat empirisme menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Tokoh-tokohnya adalah John Locke (1632-1704); George Berkeley (1685-1753); David Hume (1711-1776). Kebenaran dalam Empirisme harus dibuktikan dengan pengalaman. Peranan pengalaman menjadi tumpuan untuk memverifikasi sesuatu yang dianggap benar. Kebenaran jenis ini juga telah mempengaruhi manusia sampai sekarang ini, khususnya dalam bidang Hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM).
Aliran rasionalisme dan empirisme dibedakan lewat caranya untuk mencari kebenaran. Rasionalisme didominasi akal, sementara empirisme didominasi oleh pengalaman dalam pencarian kebenaran. Kedua aliran tersebut secara ekstrim bahkan tidak mengakui realitas di luar akal, pengalaman atau fakta. Superioritas akal menyebabkan agama dilempar dari posisi yang seharusnya. Agama didasarkan pada doktrin-dokrtin yang tidak bisa diterima oleh rasio sehingga tidak diterima oleh para pemegang paham rasionalisme dan empirisisme. Tentu saja hal ini bukan berarti dogma yang diajarkan agama itu tidak benar, tapi rasio manusia masih terbatas untuk menguji kebenaran dogma Tuhan. Sehubungan dengan hal itu, munculah aliran kritisisme sebagai jawaban dari rasionalisme dan empirisme untuk menyelamatkan agama.
Pembedaan yang saling berseberangan antara rasionalisme dan empirisme acapkali tak menghasilkan gambaran yang tajam. Orang masih saja bisa memperdebatkan apakah yang ada dalam gagasan manusia itu sebenarnya refleksi alam empirik sebagaimana yang terpersepsi melalui pancaindra, ataukah sebaliknya; bahwa yang tersimak itu sebenarnya tak lain dari pada refleksi apa yang tengah ada di dalam gagasan. Berkenaan dengan  soal ini, Descartes pernah menyatakan bahwa pengetahuan yang sebenar-benarnya benar (seperti matematika) hanya dapat diperoleh melalui jalan penalaran saja, walaupun keberhasilan mendapatkan pengetahuan yang lain (seperti misalnya fisika) memerlukan pengalaman empirik. Dengan demikian, berbeda dengan matematika, fisika tak mungkin diperoleh melalui jalan logika semata melainkan memerlukan metode sains, yakni metode yang mensintesiskan hasil penalaran  (yang diperoleh lewat penyimpulan deduktif) dengan hasil observasi empirik (yang diperoleh lewat penyimpulan induktif).

C.   Aliran Filsafat Kritisisme
Kritisisme merupakan filsafat yang terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio sebelum melakukan pencarian kebenaran. Tokoh yang terkenal dari aliran ini adalah Immanuel Kant (1724-1804). Filsafatnya dikenal dengan Idealisme Transedental atau Filsafat Kritisisme. Menurutnya, pengetahuan manusia merupakan sintesa antara apa yang secara apriori sudah ada dalam kesadaran dan pikiran dengan impresi yang diperoleh dari pengalaman (aposteriori).

D.   Aliran Filsafat Positivisme
Filsafat positivisme membatasi kajian filsafat ke hal-hal yang dapat dijustifikasi (diuji) secara empirik. Hal-hal tersebut dinamakan hal-hal positif. Positivisme digunakan untuk merumuskan pengertian mengenai realita sosial dengan penjelasan ilmiah, prediksi dan kontrol seperti yang dipraktekkan pada fisika, kimia, dan biologi. Tahap penelitian positivisme dimulai dengan pengamatan, percobaan, generalisasi, produksi, manipulasi.
Istilah Positivisme pertama kali digunakan oleh Francis Bacon seorang filosof berkebangsaan Inggris. Ia berkeyakinan bahwa tanpa adanya pra asumsi, komprehensi-komprehensi pikiran dan apriori akal tidak boleh menarik kesimpulan dengan logika murni maka dari itu harus melakukan observasi atas hukum alam. Istilah ini kemudian juga digunakan oleh Agust Comte dan dipatok secara mutlak sebagai tahapan paling akhir sesudah tahapan-tahapan agama dan filsafat.
Tesis positivisme adalah : bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi objek pengetahuan. Dengan demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek diluar fakta, menolak segala penggunaan metoda di luar yang digunakan untuk menelaah fakta. Atas kesuksesan teknologi industri abad XVIII, positivisme mengembangkan pemikiran tentang ilmu pengetahuan universal bagi kehidupan manusia, sehingga berkembang etika, politik, dan lain-lain sebagai disiplin ilmu, yang tentu saja positivistik. Positivisme mengakui eksistensi dan menolak esensi. Ia menolak setiap definisi yang tidak bisa digapai oleh pengetahuan manusia. Bahkan ia juga menolak nilai (value). Dasar dari pandangan positivistik dari ilmu sosial budaya tersebut yakni adanya anggapan bahwa (a) gejala sosial budaya merupakan bagian dari gejala alami, (b) ilmu sosial budaya juga harus dapat merumuskan hukum-hukum atau generalisasi-generalisasi yang mirip dalil hukum alam, (c) berbagai prosedur serta metode penelitian dan analisis yang ada dan telah berkembang dalam ilmu-ilmu alam dapat dan perlu diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial budaya. Akibatnya, ilmu sosial budaya menjadi bersifat predictive dan explanatory sebagaimana halnya dengan ilmu alam dan ilmu pasti. Generalisasi-generalisasi tersebut merangkum keseluruhan fakta yang ada namun sering kali menegasikan adanya “contra-mainstream”. Manusia, masyarakat, dan kebudayaan dijelaskan secara matematis dan fisis.

E.   Idealisme
Filsafat Idealisme memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi, bukan fisik. Pengetahuan yang diperoleh melaui panca indera adalah tidak pasti dan tidak lengkap. Aliran ini memandang nilai adalah tetap dan tidak berubah, seperti apa yang dikatakan baik, benar, cantik, buruk secara fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi. Pandangan Idealisme Plato, realitas yang fundamental adalah ide atau idea. Realitas yg tampak oleh indera manusia adalah bayangan dari ide. Artinya, dibelakang alam empiris atau alam fenomena yg kita hayati terdapat alam ideal atau alam esensi. Bagi kelompok  idealisme,  manusia merupakan bagian dari proses alam, yang juga bersifat spiritual karena memiliki akal, jiwa, budi dan nurani.
Tokoh-tokoh dalam aliran ini adalah: Plato, Elea dan Hegel, Emanuael Kant, David Hume, Al Ghazali.

F.    Realisme
Filsafat Realisme merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualitas. Realisme berpendapat bahwa hakekat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia ruhani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan objek pengetahuan manusia.
Menurut pandangan realitas, manusia selalu berintraksi dengan lingkungan tempat mereka berada. Lingkungan baru memiliki arti jika manusia peduli dan memahami kegunaan dari lingkungan itu sendiri untuk kejayaan hidupnya. Selama manusia tidak melakukan sesuatu terhadap lingkungan, selama itu pula lingkungan tidak pernah memberi sesuatu yang bermanfaat bagi manusia.
G.  Pragmatisme
Inti dari filsafat pendidikan yang berwatak pragmatis; pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang berguna, dan hasil dari pendidikan adalah berfungsi bagi kehidupannya. Karena itu, pendidikan harus didesain secara fleksibel dan terbuka. Maksudnya pendidikan tidak boleh mengurung kebebasan berkreasi anak, lebih-lebih membunuh kreatifitas anak. Menurut pragmatisme, pendidikan bukan semata-mata membentuk pribadi anak tanpa memperhatikan potensi yang ada dalam diri anak, juga bukan beranggapan bahwa anak telah memiliki kekuatan laten yang memungkinkan untuk berkembang dengan sendirinya sesuai tujuan. (Sadulloh, 2004).
Tujuan pendidikan pragmatisme inheren dengan pandangan realitas, teori pengetahuan dan kebenaran, serta teori nilai. Menurut pandangan realitas, manusia selalu berintraksi dengan lingkungan tempat mereka berada. Lingkungan baru memiliki arti jika manusia peduli dan memahami kegunaan dari lingkungan itu sendiri untuk kejayaan hidupnya. Selama manusia tidak melakukan sesuatu terhadap lingkungan, selama itu pula lingkungan tidak pernah memberi sesuatu yang bermanfaat bagi manusia.
Kebenaran tidak pernah mutlak, tidak berlaku umum, tidak tetap, tidak berdiri sendiri serta tidak terlepas dari akal yang mengenal, yang ada hanyalah kebenaran yang bersifat khusus dan setiap saat dapat diubah oleh pengalaman (Sadulloh, 2004). Ini berarti bahwa bahwa, ukuran kebenaran sangat nisbi bergantung dari masing-masing yang memandang. Baik menurut seseorang, mungkin akan sebaliknya menurut orang lain, demikian seterusnya, sehingga patokan kebenaran tidaklah dapat berlaku untuk semua orang dan keadaan. Demikian pula nilai, menurut pragmatisme bersifat relatif, karena kaidah-kaidah moral dan etika tidak pernah tetap, tetapi terus berubah seperti berubahnya kebudayaan seiring dengan berubahnya masyarakat yang membentuk kebudayaan itu. Karena itu, tujuan pendidikan pun harus disesuaikan dengan keadaan masyarakat dimana anak itu berada. Sehubungan dengan itu, menurut pandangan pragmatisme tidak ada tujuan pendidikan yang berlaku secara umum, dan tidak ada pula tujuan pendidikan yang bersifat tetap dan pasti. Yang ada hanyalah tujuan khusus, dan bersifat nisbi serta tidak pasti. Karena itu, mustahil tujuan pendidikan dapat ditetapkan untuk semua masyarakat. Tujuan pendidikan menurut pragmatisme selalu bersifat temporer, dan tujuan merupakan alat untuk bertindak. Jika suatu tujuan telah dicapai, maka hasil tujuan akan menjadi alat untuk mencapai tujuan berikutnya, demikian seterusnya, karena pragmatisme tidak mengenal tujuan akhir, dan yang ada adalah tujuan antara.

H.   Humanisme
Di zaman Renaisans gagasan Yunani Romawi tentang kemanusiaan universal dibangkitkan kembali dan berkembang bersama dengan modernitas kita sehingga kita sekarang dimampukan untuk mengatasi etnosentrisme dengan suatu ide abstrak, yakni humanitasHumanisme tidak hanya mendasari ide dan praksis hak-hak asasi manusia, civil society, dan negara hukum demokratis, melainkan juga mendorong aksi-aksi solidaritas global yang melampaui negara, ras, agama, kelas sosial, dan seterusnya.
Humanisme berpandangan bahwa pendidikan harus ditekankan pada kebutuhan anak (child centered). Tujuannya untuk aktualisasi diri, perkembangan efektif, dan pembentukan moral. Humanisme dapat dipandang sebagai suatu upaya intelektual yang gigih untuk memaknai kemanusiaan dan keterlibatan manusia di dalam dunianya.

I.      Behaviourisme
Paham behaviourisme memandang perubahan perilaku setelah seseorang memperoleh stimulus dari luar merupakan hal yang sangat penting. Oleh sebab itu, pendidikan behaviorisme menekankan pada proses mengubah atau memodifikasi perilaku. Tujuannya untuk menyiapkan pribadi-pribadi yang sesuai dengan kemampuannya, mempunyai rasa tanggung jawab dalam kehidupan pribadi dan masyarakat.
Menurut Osbrorn & Wittrock (dalam Sutrisno, 1992), paham behaviourisme menekankan bahwa peningkatan sejumlah tingkah laku (kemampuan dan keterampilan) yang kompleks, dari tingkah laku yang sederhana ke tingkah laku yang dilaksanakan untuk memecahkan suatu masalah, dapat dilaksanakan melalui suatu proses peembelajaran yang disusun secara hirarkis.
Definisi belajar menurut paham ini yang paling populer adalah perubahan tingkah laku yang relatif permanen sebagai akibat diberikannya suatu “reinforcement”. Model pembelajaran behaviouris, sangat bersifat deduktif, dan hasil belajar yang lebih dipentingkan berupa “output”.

J.     Konstruktivisme
Filsafat konstruktivisme merupakan filsafat ilmu pengetahuan yang bertanya tentang apa pengetahuan itu, bagaimana pengetahuan itu diperoleh manusia, dan mengapa pengetahuan itu perlu.
Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan adalah konstruksi (bentukan) dari seseorang yang mengetahui. Belajar menurut paham konstruktivisme merupakan proses aktif seseorang untuk membangun pengetahuannya sendiri melalui interaksi dengan yang lain (lingkungan) dengan cara membuat hubungan antara kosepsi yang telah dimiliki dengan pengetahuan yang sedang dipelajari (Katu, 1992; Sutrisno, 1993).
Munurut Suparno (1997), belajar merupakan proses organik untuk menemukan sesuatu, bukan suatu proses mekanik untuk mengumpulkan fakta. Ini berarti bahwa, menurut paham konstruktivisme, pengetahuan diperoleh melalui proses aktif individu mengkonstruksi arti dari suatu teks, pengalaman fisik, dialog, dan lain-lain melalui asimilasi pengalaman baru dengan pengertian yang telah dimiliki seseorang. Tujuan pendidikannya menghasilkan individu yang memiliki kemampuan berpikir untuk menyelesaikan persoalan hidupnya. Bagaimana seseorang mengkonstruksi pengetahuannya sangat mempengaruhi kualitas pengetahuan yang dia miliki.  Karena itu, orang yang belajar untuk mengatahui sesuatu itu, harus aktif, tidak menerima secara pasif (karena pengetahuan tidak dapat ditransfer dari mereka yang mengetahui ke mereka yang sedang belajar). Evaluasi yang ditekankan dalam paham konstruktivisme adalah proses (partisipasi), yakni berupa performance.
Ernest (1991) membagi aliran konstruktivisme dalam  konstruktivisme radikal, dan konstruktivisme sosial. Paham konstruktivisme radikal memandang bahwa pemerolehan pengetahuan harus melalui tindakan dan interaksi aktif dari seseorang/pebelajar terhadap lingkungan. Paham konstruktivisme sosial memandang pengetahuan sebagai konstruksi sosial. Ernest (1991) menyatakan bahwa  konstruktivisme sosial mengaitkan antara pengetahuan subyektif dan pengetahuan obyektif dalam suatu siklus melingkar.  Maksudnya, pengetahuan baru terbentuk melalui suatu siklus melingkar yaitu dimulai dari pengetahuan subyektif ke pengetahuan obyektif melalui suatu publikasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...